Ilham - Call / WA +6281267 45797...........

Sifat Sako (Gelar Pusako) di Minangkabau

 Sako (gelar pusaka/ gelar pusako) seorang pangulu di Minangkabau merupakan sebuah warisan non materi. Warisan tersebut diwariskan secara turun temurun sesuai dengan aturan dalam pewarisannya. Sako ini akan diturunkan atau dialihkan penggunaanya apabila seorang pangulu telah meninggal dunia. Namun dalam pewarisan tersebut tidak selalu terjawab hak waris gelar tersebut. Ada empat kemungkinan yang akan terjadi pada gelar pangulu setelah Pangulu ini meninggal. Dalam istilah adat ini disebut sebagai sifat sako nan ampek.

Sako dipakai

Maksud sako dipakai adalah gelar pusako tersebut digunakan kembali setelah pangulu wafat. Warisan langsung digunakan kemenakan si pangulu. Untuk bisa dipakai oleh kemenakan, kemenakan tersebut harus memenuhi syarat untuk menjadi pangulu.
Hal ini ditetapkan oleh adat seperti dalam kutipan :
Tagak panghulu sapakaik kaum, tagak rajo sapakaik rantau
div id="edb947f2bbceb132245fdde9c59d3f59">
Lah bulek aia ka pambuluah, lah bulek kato kamufakaik
Lah data ba-lantai papan, lah licin ba-lantai kulik
Rumahlah sudah tokok tak babunyi Api lah padam puntuang tak barasok.

Sako dilipek

Kemungkinan ini terjadi ketika belum anak kemenakan yang mempunyai hak waris yang dianggap mampu untuk menjadi pangulu baru. Namun kemungkinn lain juga karena belum ada kata sepakat untuk menentapkan seorang pengganti pangulu.

Ini dibaratkan sebagai sebuah pakain. Jika tidak /belum digunakan maka akan dilipek (dilipat dan di simpan) untuk sementara waktu. Biasanya ketika malipek sako ini akan dibebankan sejumlah kewajiban tertentu oleh kerapatan adat nagari yang

Biasanya untuk malipek gelar ini dibebani dengan sejumlah kewajiban tertentu oleh kerapatan adat nagari yang bersangkutan.

Sako ditaruah

Sako ditaruah ini hampir sama dengan dilipek. Gelar disimpan untuk sementara waktu. Perbedaanya adalah alas an kenapa gelar pusako ini di simpan. Untuk Sako dilipek telah dijelaskan bahwasanya gelar disimpan karena belum ada kata sepakat atau belum ada kemenakan YANG DIANGGAP BISA menggantikan peran pangulu yang telah meninggal.

Pada sako ditaruah penyebabnya karena tidak ada kemenakan laki laki yang berhak menerima Sako ini namun masih ada kemungkinan memiliki kemenakan lelaki. Misal dalam kondisi, pengulu masih memiliki saudara perempuan ; dalam artian ini masih ada penerus waris gelar sako ini. Dalam istilah adat dikenal dengan putuih warih jantan. Sako akan dipakai lagi ketika telah lahir penerima waris yang berhak, yaitu kemenakan dari pewaris.

Sako Dibanam / Tabanam

Gelar sako yang dibanam terjadi ketika memang tidak ada lagi yang berhak menerima gelar pusako ini. Dalam adat dikenal dengan istilah Putuih warih Nasab. Sederhananya ketika tak ada lagi generasi perempuan di sebuah rumah gadang. Atau, dalam sebuah generasi yang ada hanya saudara laki laki semua.

Kok putuih warih nasab
Sa lamo aia ilia, salamo gagak itam
Nan soko dianyuik ka aie dareh
Dibuang ka tanah lakang
Nan soko tak bapakai lai.
Dalam kasus ini keturunan pangulu dianggap punah. Sako tak akan dipakai lagi untuk selama lamanya.